Recent Posts

Selasa, 17 November 2015

MTs N PARON “NDHEREK” NGURI-URI SENI KARAWITAN

Seni tradisi dewasa ini menjadi “brand icon” Indonesia dalam upaya memperkokoh ketahanan nasionalnya. Salah satu diantaranya adalah seni karawitan. Jenis kesenian ini semakin digandrungi masyarakat, baik kelas bawah, menengah, maupun kelas atas. Selain suaranya enak didengar, ragam alatnya juga memiliki makna filosofi yang tinggi. 

Seiring dengan fakta tersebut , banyak sekolah dan madrasah yang tertarik untuk mengembangkan ekstrakurikuler karawitan, tak terkecuali Madasah Tsanawiyah Negeri Paron. Meski terasa sedikit ribet , akhirnya, ekstra kurikuler di Madrasah Tsanawiyah Negeri Paron telah mampu berkiprah dalam pentas akhirussanah. 

Dengan maksud lebih mengembangkan greget dan kiprah seni kerawitan di MTs Negeri Paron, Tim Pembina Ekstra Karawitan “Ngudi Rahayu” telah menggelar Pendidikan dan Latihan Karawitan di Madrasah. 

Diklat yang dibilang seru tersebut digelar di Gedung Seni Budaya MTs Negeri Paron pada Sabtu Minggu, 7 – 8 November 2015, dengan pemateri Ki Dalang Sudarto dari Paron dan Kang Imam Joko Sulistiyo (seniman multitalenta Ngawi). Kedua pemateri tersebut berhasil membuat ke-40 peserta Diklat betah tinggal tempat, lantaran cara penyampaian materi dilakukan dengan menyenangkan. 

Drs. M. Bisri Musthofa dalam sambutan Pembukaan Diklat menuturkan bahwa seni karawitan menjunjung tinggi nilai etika dan estetika, budaya ini adalah budaya islami yang harus kita rebut kembali, sehingga, kerawitan di era mendatang jangan lagi ditumpangi dengan minum-minuman keras, tarian erotis, tradisi saweran, dan lain sebagainya. 

Lebih lanjut beliau katakan bahwa kerawitan adalah media dakwah para wali, khususnya walisanga. Setelah dirampas oleh kaum imperalis dan kapitalis Barat, khususnya Belanda, akhirnya, kerawitan dikotori oleh budaya ledhek, minum arak, dan saweran. “Kembalikan nilai-nilai filosofi karawitan pada khitahnya”, tegas beliau. 

Akhirnya, Diklat yang megusung tema “Membentuk Generasi Pecinta Seni Tradisi” tersebut, ditutup dengan pementasan dua kelompok Diklat, yakni kelompok kelas 7 dan kelompok kelas 8. Masing-masing menampilkan satu karya dengan model gendhing garapan, yaitu “Pepiling” karya Ki Anom Suroto, dan “Sluku-Sluku Bathok” karya Sunan Kalijaga.

0 komentar:

Posting Komentar